Minggu, 12 Juli 2015

Perempuan Pejuang itu bernama Kak Laila.



source picture: http://ahmadzone.tumblr.com

Lembah Tengger di pagi hari menyejukkan. Angin berhembus dari arah timur menggerakkan dedaunan yang tumbuh disepanjang jalan. Embunan pagi mensucikan, menentramkan mata. Embun itu sungguh tenang, karena ia tidak menetas. Perlahan-lahan bergerak dari permukaan menuju ujung daun. Amat menyenangkan melihatnya seperti ini, tapi sungguh yang ada di dunia ini tidak abadi. Begitu juga dengan embun. Sekali menetes, itu petanda matahari mulai naik sepenggalah, maka sudah tidak ada lagi yang namanya embun. Tuhan maha pemurah, ketika satu nikmat diambil, maka akan digantikan dengan nikmat-nikmat yang lain. Matahari yang menampakkan dirinya dari sebalik gunung Batok, terlihat seperti buah jeruk besar bulat dengan warna yang begitu mempesona; kuning lime menggelayut bermanja-manjaan dengan bumi. Sesekali burung pematang sawah terbang berhamburan di angkasa, maka sempurnalah pemandangan di lembah ini. Kuasku tak hentinya melukiskan  apa yang sudah Tuhan berikan pagi ini, seolah-olah bergerak sendiri tanpa dituntun. Pemandangan di lembah kami ini memang pantas diabadikan. Ku lukiskan nikmat Tuhan pagi ini sebagai rasa syukurku dan untuk kakakku tercinta; Kak Laila. Lukisan ini untuk kado ulang tahunmu.
***

Mahasiswa KKN salah satu institut ternama dari kota provinsi datang ke lembah kami. Mereka menyuluhkan tentang pemanfaatan lahan-lahan kosong yang masih banyak terlihat di kanan kiri lembah dengan pembudidayaan bawang putih. Minggu pagi, Kak Laila mengajakku untuk datang ke balai desa untuk melihat dan mendengarkan penyuluhan tersebut. Aku sebenarnya agak malas, namun bukan Kak Laila namanya kalau tidak berusaha. Sedari subuh Kak Laila sudah sibuk membangunkanku, menyuruhku agar pekerjaan yang menjadi tugasku selesai lebih pagi dari biasanya. Kak Laila konsisten dengan ucapannya. Aku yang malas datang ke acara penyuluhan itu, bekerja lebih lamban dari biasanya. Dan Kak Laila tahu akan hal itu karena ia memperhatikan. Suara halus nan tegas itu keluar akhirnya...(melegakan)

“Yasmin... kalau kau bermalas-malasan seperti itu, pekerjaanmu tidak akan selesai. Lekas, dan ikutlah dengan kakak. Percaya! Disana kau tidak akan jenuh”. Kemudian kak Laila seperti biasa menyudahinya dengan kalimat Allah “minadzulumaati ilan Nuur, Yas… selalulah ingat kalimat itu! Spontan kepalaku mengangguk, karena sejatinya aku tidak pernah bisa membantah kak laila. Maka aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Kak Laila adalah orang yang aku hormati, maka apapun yang ia katakan akan aku turuti.

Balai desa sudah hampir penuh dengan warga lembah Tengger. Aku dan kak Laila tiba sepuluh menit sebelum acara akhirnya dimulai. Pak Syahid sesepuh di desa berdehem, semua menoleh dan pak Syahid mengetok meja memulai acara, memberi sedikit sambutan, dan kemudian menyilakan kepada para mahasiswa untuk berbicara.

Kakak-kakak mahasiswa di depan berbicara panjang lebar mengikuti alur-alur slide yang ditampilkan. Warga memperhatikannya dengan wajah-wajah antusias, dan kak Laila lebih bersemangat lagi. Ia mencatat semua hal yang disampaikan mereka, bahkan sketsa-sketsa pertumbuhan bawang putih mulai dari perkecambahan sampai daun-daun yang tumbuh menjulang ke atas, kak Laila gambarkan dalam buku yang dibawanya. Aku pun tak kalah memperhatikan. Mataku sudah mulai terbentuk bulat besar sejak awal slide ditampilkan; aku sangat tertarik. Apa yang aku perhatikan bukan apa yang disampaikan oleh kakak-kakak mahasiswa itu, melainkan yang menarik perhatianku adalah tampilan slide-nya. Slide demi slide aku perhatikan. Waktu itu aku masih sangat kecil dan gaptek, wajar saja karena desa kami jauh dari keramaian teknologi dan aku pun baru melihatnya saat itu. Otakku berpikir mengelana mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan. Bagaimana bisa gambar-gambar di slide itu bergerak? Bagaimana alat yang bernamakan komputer itu begitu pandai mengikuti kehendak manusia? Bagaimana itu semua bisa bekerja? Aku terus berpikir, Bagaimana  bisa?
***

Sudah enam belas tahun dari acara penyuluhan tersebut. Kini aku sudah berusia dua puluh empat tahun, dan usia kak Laila tiga puluh tahun. Kak Laila masih fokus dengan usaha pertaniannya dan sekarang sudah menjadi mitra terbaik bagi suaminya. Sedangkan aku sendiri tumbuh menjadi gadis yang cantik, dan cerdas, itu semua karena seseorang, yaitu kak Laila. Aku belajar semuanya dari kak Laila. Kak Laila selalu berjuang untuk hidup dan menyekolahkan adiknya, bekerja keras setiap hari, bertantang dengan panas matahari di ladang. Ilmu yang ia dapat dari kakak-kakak mahasiswa enam belas tahun lalu itu langsung kak Laila praktekkan di lahan peninggalan ibu dan bapak. Dan sampai sekarang pun, pembudidayaan itu masih kak Laila kembangkan bersama dengan suaminya.

Kak Laila kakak yang hebat, seperti tahu semua apa yang aku pikirkan. Melihat adik kecilnya diam menatap lama ke depan, kak Laila mengagetkanku dengan pertanyaan  “apa kau hanya akan mengagumi sebuah kendi, tanpa ingin merasakan kesegaran air di dalamnya?” aku tertawa seketika, aku mengerti apa yang kak Laila katakan. Sejak kecil aku memang dilatih untuk memikirkan makna dari sebuah kalimat. Bahkan ada kata-kata kak Laila yang baru aku pahami setelah belasan tahun lamanya.

Setelah acara penyuluhan tersebut, aku langsung menemui salah satu kakak mahasiswa itu. Bertanya banyak hal tentang pertanyaan-pertanyaaanku tadi, dan kakak mahasiswa itu pun baik terhadapku, menjawab semua pertanyaan dan juga mengajariku mengoperasikan komputer dengan cara yang sederhana. Itu pengalaman pertama yang membawa ku sampai saat ini.

Semenjak itu rasa ketertarikanku dengan komputer semakin menjadi. Setiap sore aku pergi ke kampung atas yang jauhnya enam kilometer dengan jalan kaki, untuk belajar mengoperasikan komputer yang ada di pos pantau gunung. Kak Laila menitipkanku pada pekerja disana yang masih ada hubungan keluarga juga dengan kami. Setelah tamat smp, aku melanjutkan ke smk dengan mengambil jurusan TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan), disini bakatku mulai diketahui banyak orang. Aku berhasil membawa nama baik sekolahku dengan kompetisi yang diadakan Institut Teknik di kota provinsi, aku mengenalkan software prolin matematika untuk deret aritmatik. Disana para penguji sangat antusias dengan apa yang aku sampaikan. Karena program yang aku perkenalkan itu tadi, aku mendapat beasiswa untuk menuntut pendidikan S1 penuh di Institut tersebut, dengan harapan mereka agar aku dapat mengembangkan program prolin tersebut. Aku menerima beasiswa itu, mengembangkan program yang ku buat dengan lebih modif lagi agar penggunaannya lebih mudah. Dan akhirnya atas saran dosen pembimbingku, software tersebut diikut sertakan diajang kompetisi internasional yang diadakan Microsoft. Diajang tersebut aku mendapat penghargaan kategori New Inovation Session.
***

Hari ini ulang tahun kak Laila bertepatan dengan dengan kelahiran salah satu pejuang perempuan Indonesia. Kak Laila tidak pernah merayakan, tapi aku tak pernah lupa dengan hari penting itu. Lukisan lembah Tengger ini untuk kak Laisa. Kini aku harus kembali meninggalkan kak Laila, melanjutkan studi S2-ku di Jepang. Dan pagi ini aku mengerti dengan kalimat yang sering kak Laila ucapkan padaku belasan tahun lalu “minadzulumaati ilan Nuur”. kak Laila sama seperti pejuang perempuan itu, percaya akan janji Allah; dengan usaha dan kerja keras, masa-masa gelap akan berlalu, dan akan terganti dengan terangnya cahaya kehidupan. 

#Menulis Cerpen KAMUS FT UTM “Memperingati Hari Kartini”, April 2014.

Tidak ada komentar: