Lembah Tengger di pagi hari menyejukkan. Angin berhembus
dari arah timur menggerakkan dedaunan yang tumbuh disepanjang jalan. Embunan
pagi mensucikan, menentramkan mata. Embun itu sungguh tenang, karena ia tidak
menetas. Perlahan-lahan bergerak dari permukaan menuju ujung daun. Amat
menyenangkan melihatnya seperti ini, tapi sungguh yang ada di dunia ini tidak
abadi. Begitu juga dengan embun. Sekali menetes, itu petanda matahari mulai
naik sepenggalah, maka sudah tidak ada lagi yang namanya embun. Tuhan maha
pemurah, ketika satu nikmat diambil, maka akan digantikan dengan nikmat-nikmat
yang lain. Matahari yang menampakkan dirinya dari sebalik gunung Batok,
terlihat seperti buah jeruk besar bulat dengan warna yang begitu mempesona;
kuning lime menggelayut bermanja-manjaan dengan bumi. Sesekali burung
pematang sawah terbang berhamburan di angkasa, maka sempurnalah pemandangan di
lembah ini. Kuasku tak hentinya melukiskan
apa yang sudah Tuhan berikan pagi ini, seolah-olah bergerak sendiri
tanpa dituntun. Pemandangan di lembah kami ini memang pantas diabadikan. Ku
lukiskan nikmat Tuhan pagi ini sebagai rasa syukurku dan untuk kakakku
tercinta; Kak Laila. Lukisan ini untuk kado ulang tahunmu.
***
Mahasiswa KKN salah satu institut ternama dari kota
provinsi datang ke lembah kami. Mereka menyuluhkan tentang pemanfaatan
lahan-lahan kosong yang masih banyak terlihat di kanan kiri lembah dengan
pembudidayaan bawang putih. Minggu pagi, Kak Laila mengajakku untuk datang ke
balai desa untuk melihat dan mendengarkan penyuluhan tersebut. Aku sebenarnya
agak malas, namun bukan Kak Laila namanya kalau tidak berusaha. Sedari subuh Kak
Laila sudah sibuk membangunkanku, menyuruhku agar pekerjaan yang menjadi tugasku
selesai lebih pagi dari biasanya. Kak Laila konsisten dengan ucapannya. Aku
yang malas datang ke acara penyuluhan itu, bekerja lebih lamban dari biasanya.
Dan Kak Laila tahu akan hal itu karena ia memperhatikan. Suara halus nan tegas
itu keluar akhirnya...(melegakan)
“Yasmin... kalau kau bermalas-malasan seperti itu,
pekerjaanmu tidak akan selesai. Lekas, dan ikutlah dengan kakak. Percaya! Disana kau tidak akan jenuh”. Kemudian kak Laila seperti biasa menyudahinya dengan
kalimat Allah “minadzulumaati ilan Nuur, Yas… selalulah ingat kalimat
itu!” Spontan kepalaku mengangguk, karena sejatinya aku tidak pernah bisa
membantah kak laila. Maka aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Kak Laila
adalah orang yang aku hormati, maka apapun yang ia katakan akan aku turuti.
Balai desa sudah hampir
penuh dengan warga lembah Tengger. Aku dan kak Laila tiba sepuluh menit sebelum
acara akhirnya dimulai. Pak Syahid sesepuh di desa berdehem, semua menoleh dan
pak Syahid mengetok meja memulai acara, memberi sedikit sambutan, dan kemudian
menyilakan kepada para mahasiswa untuk berbicara.
Kakak-kakak mahasiswa di
depan berbicara panjang lebar mengikuti alur-alur slide yang ditampilkan. Warga
memperhatikannya dengan wajah-wajah antusias, dan kak Laila lebih bersemangat
lagi. Ia mencatat semua hal yang disampaikan mereka, bahkan sketsa-sketsa
pertumbuhan bawang putih mulai dari perkecambahan sampai daun-daun yang tumbuh
menjulang ke atas, kak Laila gambarkan dalam buku yang dibawanya. Aku pun tak
kalah memperhatikan. Mataku sudah mulai terbentuk bulat besar sejak awal slide
ditampilkan; aku sangat tertarik. Apa yang aku perhatikan bukan apa yang
disampaikan oleh kakak-kakak mahasiswa itu, melainkan yang menarik perhatianku
adalah tampilan slide-nya. Slide demi slide aku perhatikan. Waktu itu aku masih
sangat kecil dan gaptek, wajar saja karena desa kami jauh dari keramaian
teknologi dan aku pun baru melihatnya saat itu. Otakku berpikir mengelana
mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan. Bagaimana
bisa gambar-gambar di slide itu bergerak? Bagaimana alat yang bernamakan
komputer itu begitu pandai mengikuti kehendak manusia? Bagaimana itu semua bisa
bekerja? Aku terus berpikir, Bagaimana
bisa?
***
Sudah enam belas tahun dari
acara penyuluhan tersebut. Kini aku sudah berusia dua puluh empat tahun, dan
usia kak Laila tiga puluh tahun. Kak Laila masih fokus dengan usaha pertaniannya
dan sekarang sudah menjadi mitra terbaik bagi suaminya. Sedangkan aku sendiri
tumbuh menjadi gadis yang cantik, dan cerdas, itu semua karena seseorang, yaitu
kak Laila. Aku belajar semuanya dari kak Laila. Kak Laila selalu berjuang untuk
hidup dan menyekolahkan adiknya, bekerja keras setiap hari, bertantang dengan
panas matahari di ladang. Ilmu yang ia dapat dari kakak-kakak mahasiswa enam
belas tahun lalu itu langsung kak Laila praktekkan di lahan peninggalan ibu dan
bapak. Dan sampai sekarang pun, pembudidayaan itu masih kak Laila kembangkan
bersama dengan suaminya.
Kak Laila kakak yang hebat, seperti
tahu semua apa yang aku pikirkan. Melihat adik kecilnya diam menatap lama ke
depan, kak Laila mengagetkanku dengan pertanyaan “apa kau hanya akan mengagumi sebuah kendi,
tanpa ingin merasakan kesegaran air di dalamnya?” aku tertawa seketika, aku
mengerti apa yang kak Laila katakan. Sejak kecil aku memang dilatih untuk
memikirkan makna dari sebuah kalimat. Bahkan ada kata-kata kak Laila yang baru
aku pahami setelah belasan tahun lamanya.
Setelah acara penyuluhan
tersebut, aku langsung menemui salah satu kakak mahasiswa itu. Bertanya banyak
hal tentang pertanyaan-pertanyaaanku tadi, dan kakak mahasiswa itu pun baik
terhadapku, menjawab semua pertanyaan dan juga mengajariku mengoperasikan
komputer dengan cara yang sederhana. Itu pengalaman pertama yang membawa
ku sampai saat ini.
Semenjak itu rasa
ketertarikanku dengan komputer semakin menjadi. Setiap sore aku pergi ke
kampung atas yang jauhnya enam kilometer dengan jalan kaki, untuk belajar
mengoperasikan komputer yang ada di pos pantau gunung. Kak Laila menitipkanku
pada pekerja disana yang masih ada hubungan keluarga juga dengan kami. Setelah
tamat smp, aku melanjutkan ke smk dengan mengambil jurusan TKJ (Teknik Komputer
dan Jaringan), disini bakatku mulai diketahui banyak orang. Aku berhasil membawa
nama baik sekolahku dengan kompetisi yang diadakan Institut Teknik di kota
provinsi, aku mengenalkan software prolin matematika untuk deret
aritmatik. Disana para penguji sangat antusias dengan apa yang aku sampaikan. Karena
program yang aku perkenalkan itu tadi, aku mendapat beasiswa untuk menuntut
pendidikan S1 penuh di Institut tersebut, dengan harapan mereka agar aku dapat
mengembangkan program prolin tersebut. Aku menerima beasiswa itu, mengembangkan
program yang ku buat dengan lebih modif lagi agar penggunaannya lebih mudah.
Dan akhirnya atas saran dosen pembimbingku, software tersebut diikut sertakan
diajang kompetisi internasional yang diadakan Microsoft. Diajang tersebut aku
mendapat penghargaan kategori New Inovation Session.
***
Hari ini ulang tahun kak Laila bertepatan dengan dengan kelahiran salah
satu pejuang perempuan Indonesia. Kak Laila tidak pernah merayakan, tapi aku
tak pernah lupa dengan hari penting itu. Lukisan lembah Tengger ini untuk kak
Laisa. Kini aku harus kembali meninggalkan kak Laila, melanjutkan studi S2-ku di
Jepang. Dan pagi ini aku mengerti dengan kalimat yang sering kak Laila ucapkan
padaku belasan tahun lalu “minadzulumaati
ilan Nuur”. kak Laila sama seperti pejuang perempuan itu, percaya akan janji Allah; dengan
usaha dan kerja keras, masa-masa gelap akan berlalu, dan akan terganti dengan
terangnya cahaya kehidupan.
#Menulis Cerpen KAMUS FT UTM “Memperingati Hari
Kartini”, April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar