Kamis, 25 Juni 2015

Ironi Ramadhan


Seandainya bukan karena perintah dakwah dan kewajiban, sungguh lebih aman untuk mengunci rapat lisan dan tulisan.
 
Untuk Keluarga, Sahabat, Teman, Guru, Dosen, Saudara semuslim dan semua manusia yang hatinya mau membukan ruang untuk menaruh cinta kepada Allah.

Oleh: Ust Ir. Felix Siauw
Bulan Ramadhan kini menjelang dan seperti biasa aku melihat perubahan terjadi di mana-mana dalam berbagai rupa. Hari-hari awal pastilah masjid penuh sesak dengan terawih-an dan musholla ramai dengan dendangan tilawah tadarusan Al-Qur’an. Akhwat-akhwat mulai menutupi auratnya dengan hijab. Artis-artis terhadap apa yang mereka siarkan mulai bertanggung jawab. Bahkan sinetron Romeo-Juliet berganti Sofa dan Marwah saat Ramadhan. Layar kaca-pun tak tertinggal siar pengajian. Film gairah cinta dipending menjadi tasbih cinta agar makruf. Judulnya nikmatnya pacaran berganti dengan indahnya ta’aruf. 

Sering aku tersenyum geli melihat tingkah pola umat islam karena meraka masih berkutat dengan pikiran dzolim, tapi Ramadhan memang ajaib, ia mampu membuat perubahan 1800. Sayangnya setelah Ramadhan banyak yang kembali tidak baik. Ini pula yang sebabkan luka tak terperih bagai disulut api. Perubahan di mata ternyata belum sampai di hati. 

Sekularisme memang menarik umat ke jurang kegelapan yang paling dalam tanpa menyisakan secercah sinar yang bahkan cukup untuk mengurai air mata. Sekularisme mengajarkan bahwa Allah meninggalkan manusia dan tak lagi menghitung amalan manusia selain pada Ramadhan yang mulia.

Bagaimana bisa seorang muslim tahankan apa yang halal baginya karena Allah di waktu siang, namun justru berbuka dengan apa yang Allah haramkan. Dia menahan makanan minuman karena Allah di siang hari. Namun, ia berbuka dengan riba yang Allah benci. Ah… 10 kali Ramadhan telah berlalu namun usahaku nampaknya belum ada hasilnya, atau apakah ini hanya prasangkaanku belaka? Toh perhitungan Allah tiada sama dengan perhitungan manusia. Malam yang kita sangka paling gelap, bisa jadi malam yang paling dekat dengan fajar. Dalam sadar aku hanya mencerca usahaku yang belum banyak, berharap pertolongan Allah walau aku tahu belumlah layak.

Umat memang danger, penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Ia bisa menjadi selimut pelindung dari dingin malam dan panasnya siang. Pun ia bisa menjelama menjadi monster yang paling menakutkan, membenamkan kuku-kuku ucapannya dalam hatimu terdalam, menghujam belati racun di setiap bangian tubuhmu yang mampu ia jangkau. 

Menunjukkan cahaya bagi mereka ang terlalu lama bejalan di kegelapan, sama saja memberinya rasa sakit. Sebagian pejalan dalam kegelapan ini lebih suka kedzoliman ketimbang ermandikan cahaya ilahi. Mungkin, dalam hati kecil mereka merindukan Allah, namun syaitan melakukan tugasnya dengan baik hingga mereka suka dalam kegelapan. Mereka lupa bahwa lebih terhormat mati dalam terang, daripada hidup dalam kegelapan. Yah setidaknya engkau dilihat da diingat. Dalam kegelapan mungkin engkau nyaman, namun tak seorang pun tau eksistensimu.

Aku adalah hamba Allah Maha Suci. Cintaku pada langit tak berarti aku tidak menginjak bumi, justru langit mengajarkanku dengan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan benih yang beristirahat dalam hati. Cinta kepada Allah selalu hadiahkan 2 hal kepada hamba yaitu lidah dan air mata. 

Aku selalu berdo’a semoga Allah memberikan semua pengemban dakwah mampu merengkuh kemuliaan Ramadhan dan karunia Allah yang dilimpahkan di dalamnya., karena tiap perkataan mereka bagaikan penyambung nafas dunia, menghindarkan umat dari kerusakan sehabisnya. Mungkin umat bagaikan laron yang tak suka dihalau api, mungkin ia akan menggigit tangan yang berusaha menghalanginya dari kecelakaan, namun bukankah itu kenikmatan dakwah yang juga dirasakan oleh junjungan kita Nbi Muhammad SAW. Pantaskah manusia berkeluh kesah terhadap dakwah manakal tauladan kita Nabi Muhammad SAW menjalankannya. Benar… logam akan berkarat seiring waktu, namun emas tetaplah emas. Waktu adalah satu-satunya pemisah antara ke-Istiqomah-an denga yang ditinggalkan.


Tidak ada komentar: