“Seandainya bukan karena perintah dakwah dan kewajiban, sungguh lebih aman untuk mengunci rapat lisan dan tulisan.”
Untuk Keluarga,
Sahabat, Teman, Guru, Dosen, Saudara semuslim dan semua manusia yang hatinya
mau membukan ruang untuk menaruh cinta kepada Allah.
Oleh: Ust Ir. Felix Siauw
Bulan Ramadhan
kini menjelang dan seperti biasa aku melihat perubahan terjadi di mana-mana
dalam berbagai rupa. Hari-hari awal pastilah masjid penuh sesak dengan
terawih-an dan musholla ramai dengan dendangan tilawah tadarusan Al-Qur’an.
Akhwat-akhwat mulai menutupi auratnya dengan hijab. Artis-artis terhadap apa
yang mereka siarkan mulai bertanggung jawab. Bahkan sinetron Romeo-Juliet
berganti Sofa dan Marwah saat Ramadhan. Layar kaca-pun tak tertinggal siar pengajian.
Film gairah cinta dipending menjadi tasbih cinta agar makruf. Judulnya
nikmatnya pacaran berganti dengan indahnya ta’aruf.
Sering aku tersenyum geli
melihat tingkah pola umat islam karena meraka masih berkutat dengan pikiran
dzolim, tapi Ramadhan memang ajaib, ia mampu membuat perubahan 1800.
Sayangnya setelah Ramadhan banyak yang kembali tidak baik. Ini pula yang
sebabkan luka tak terperih bagai disulut api. Perubahan di mata ternyata belum
sampai di hati.
Sekularisme
memang menarik umat ke jurang kegelapan yang paling dalam tanpa menyisakan
secercah sinar yang bahkan cukup untuk mengurai air mata. Sekularisme
mengajarkan bahwa Allah meninggalkan manusia dan tak lagi menghitung amalan
manusia selain pada Ramadhan yang mulia.
Bagaimana bisa
seorang muslim tahankan apa yang halal baginya karena Allah di waktu siang,
namun justru berbuka dengan apa yang Allah haramkan. Dia menahan makanan
minuman karena Allah di siang hari. Namun, ia berbuka dengan riba yang Allah
benci. Ah… 10 kali Ramadhan telah berlalu namun usahaku nampaknya belum ada
hasilnya, atau apakah ini hanya prasangkaanku belaka? Toh perhitungan Allah
tiada sama dengan perhitungan manusia. Malam yang kita sangka paling gelap,
bisa jadi malam yang paling dekat dengan fajar. Dalam sadar aku hanya mencerca
usahaku yang belum banyak, berharap pertolongan Allah walau aku tahu belumlah
layak.
Umat memang danger,
penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Ia bisa menjadi selimut pelindung dari
dingin malam dan panasnya siang. Pun ia bisa menjelama menjadi monster yang
paling menakutkan, membenamkan kuku-kuku ucapannya dalam hatimu terdalam,
menghujam belati racun di setiap bangian tubuhmu yang mampu ia jangkau.
Menunjukkan
cahaya bagi mereka ang terlalu lama bejalan di kegelapan, sama saja memberinya
rasa sakit. Sebagian pejalan dalam kegelapan ini lebih suka kedzoliman
ketimbang ermandikan cahaya ilahi. Mungkin, dalam hati kecil mereka merindukan
Allah, namun syaitan melakukan tugasnya dengan baik hingga mereka suka dalam
kegelapan. Mereka lupa bahwa lebih terhormat mati dalam terang, daripada hidup
dalam kegelapan. Yah setidaknya engkau dilihat da diingat. Dalam kegelapan
mungkin engkau nyaman, namun tak seorang pun tau eksistensimu.
Aku adalah
hamba Allah Maha Suci. Cintaku pada langit tak berarti aku tidak menginjak
bumi, justru langit mengajarkanku dengan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan
benih yang beristirahat dalam hati. Cinta kepada Allah selalu hadiahkan 2 hal
kepada hamba yaitu lidah dan air mata.
Aku selalu berdo’a semoga Allah memberikan semua
pengemban dakwah mampu merengkuh kemuliaan Ramadhan dan karunia Allah yang
dilimpahkan di dalamnya., karena tiap perkataan mereka bagaikan penyambung
nafas dunia, menghindarkan umat dari kerusakan sehabisnya. Mungkin umat
bagaikan laron yang tak suka dihalau api, mungkin ia akan menggigit tangan yang
berusaha menghalanginya dari kecelakaan, namun bukankah itu kenikmatan dakwah
yang juga dirasakan oleh junjungan kita Nbi Muhammad SAW. Pantaskah manusia
berkeluh kesah terhadap dakwah manakal tauladan kita Nabi Muhammad SAW
menjalankannya. Benar… logam akan berkarat seiring waktu, namun emas tetaplah
emas. Waktu adalah satu-satunya pemisah antara ke-Istiqomah-an denga yang
ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar