source picture: https://anangpratama.wordpress.com
Manusia yang
selalu mencari alasan
Ketika sesuatu
tidak berjalan dengan baik
Situasi, waktu
Takdir dan
keberuntungan
Mereka
menggunakan hal tersebut untuk menghibur diri mereka
Tidak mengira
akan terjadi seperti ini
Jika aku bisa melakukannya
lagi
Akankah berubah
menjadi lebih baik jika aku melakukannya lagi?
Ketika aku
gagal pada kesempatan pertama,
darimana
asalnya kepercayaan diri ini untuk berhasil pada kesempatan kedua?
“Selamat pagi teman-teman…” sapaku pada kelas
praktikum Biologi dari angkatan 2012. Hari ini adalah hari terakhir mata acara
praktikum Biologi di kelas mereka, sebelum minggu depan memasuki minggu ujian
praktik. Saat memasuki ruangan ini tadi, aku sudah mencium aroma jeruk dan
mangga, karena kali ini mereka akan melakukan praktikum Uji Vitamin C.
“Pagi…” sahut mereka serempak.
Selanjutnya giliran Dewi, partner[1]
sesama asisten untuk mata kuliah ini yang memberikan pengarahan untuk pre-test[2]
terlebih dahulu sebelum mereka memulai praktikum.
“Oke, silakan tutup buku panduan
praktikum dan catatannya. Kita akan mulai pre-test-nya” ujar Dewi. Ia
pun mulai membacakan soal nomor 1 sampai 5. Aku berjalan ke meja mereka untuk
mengumpulka laporan praktikum minggu lalu, dan membawanya ke ruang analitik
tempat lemari penyimpanan laporan yang belum dikoreksi. Aku menuju loker yang
bertuliskan “PRAKTIKUM BIOLOGI. Asisten 1: Mohammad Adi Sasono. Asisten 2: Dewi
Hana”. Ku putar anak kunci yang tergantung di luar, lalu memasukkan laporan
yang baru kukumpulkan tadi. Usai menyimpan dan menutup pintu itu kembali, aku
menoleh pada sebuah lemari di sebelahku. Di depannya masih tertempel tulisan
“PRAKTIKUM TAKSONOMI[3]
HEWAN. Asisten 1: Riani Darmawati. Asisten 2: Mohammad Adi Sasono. Perlahan aku
meraih kertas tersebut, lalu bergegas kembali ke ruang praktikum. Aku tak ingin
terlalu lama membiarkan diriku mengingtanya lagi, bukan karena takut aku akan
bersedih, tapi karena takut mengganggu ketenangannya dalam istirahat panjang
disana.
Sudah satu bulan sejak kepergian
Riani, dan aku masih tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Setiap hari,
bahkan dalam mimpi juga hanya Riani yang selalu ada. Lemah Jantung, itulah
penyakit yang merenggut nyawa Riani. Terakhir kali kunjunganku ke rumah Riani,
ibunya menunjukkan sederet obat yang disembunyikan Riani dengan rapi di laci
meja belajarnya, jauh di belakang tumpukan buku-bukunya. Aku tersenyum kecut,
menyadari betapa pandainya dia menutupi rahasia ini dariku dengan alasan ia tak
ingin aku terluka. “Setidaknya kalau memang Yani harus mati, Yani hanya
ingin membahagiakan Adi samapai Yani mati, Bu. Yani tidak ingin melihatnya
sedih selama Yani masih hidup. Jadi biarlah sakit hatinya hanya satu kali saja,
karena itu akan lebih mudah disembuhkannya daripada ia harus terluka dari awal.”
Begitu tutur Ibunya, yang ku rasa sedikit egois tapi rasional. Dia terlalu
mencintaiku, aku tahu itu. Aku pun sudah sangat mencintainya, hingga aku merasa
aku tak bisa menemukan penawar luka karena kehilangan dia.
Praktikum yang berlangsung selama
dua jam ini cukup menyenangkan. Beberapa praktikan tampak sibuk melakukan
titrasi sari buah. Beberapa yang lain juga sibuk menghaluskan potongan buah
yang nantinya akan disaring dan diambil airnya. Sedangkan kelompok Azwar yang
bertugas membawa jeruk, sengaja membawa jeruk hingga dua kilogram dan dibagikan
ke seluruh kelompok untuk dimakan.
Memasuki semester 7 ini aku juga
sudah memiliki kesibukan lain, yaitu praktik mengajar di sekolah-sekolah. Ini
adalah mata kuliah kedua terakhir sebelum ditutup dengan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) pada semester depan. sedangkan untuk mata kuliah yang menuntut untuk
kuliah di dalam kelas sudah tidak ada lagi. Waktuku pun lebih fleksibel[4]
karena kau tidak punya tanggungan kewajiban lainnya lagi.
Sambil menunggu hingga anak-anak
selesai praktikum aku mengecek jadwal praktikku yang ku simpan dalam binder.
Minggu depan siswa-siswi SMP Sunan Giri memasuki minggu UTS atau mid semester,
dan seluruh kegiatan belajar-mengajar ditiadakan sementara. Dan itu berarti
minggu depan aku kosong, tidak ada jadwal praktik sama sekali. Sebuah suara di
hatiku menyerukan sebuah usul, aku ingin liburan.
Ya, aku memang perlu istirahat. Aku
tak bisa berpura-pura tegar seperti ini. Di luar aku tersenyum, menyibukkan
diriku dengan ini-itu, padahal di dalam hati aku sedih dan rapuh. Sangat mudah
bagiku untuk menangis, tapi semudah itu juga aku mempertahankan supaya mereka
tak melihat kerapuhanku. Aku tak ingin diburu oleh sorot mata iba dari setiap
orang ku jumpai. Aku ingin mereka percaya kalau aku baik-baik saja. Mereka
harus tahu itu!
“Ya, aku akan liburan” sambil
menutup binder kuliah itu. Sebuah nama pulau yang terkenal sebagai tempat
rekreasi telah kupilih menjadi tempat liburanku, tinggal ku cari rute
perjalanan ke saa dan transportasi apa saja yang dipakai untuk sampai ke pulau
itu. Aku pun membuka google untuk mulai mencari informasi tentang pulau
tersebut. Akhirnya, setelah menjaring beberapa artikel, aku mendapatkan rute
perjalanan untuk sampai ke sana.
***
Angin dingin membelai lembut.
Matahari baru sedikit mengintip malu di balik awan-awan. Sejenak ku lemparkan
pandangan ke seluruh is ibis, hampir semua kursi sudah penuh. Seorang kernek
bis bergelantungan di pintu sambil meneriakkan nama-nama kota yag akan dilewati
spanjang rute bis ini. Aku tersenyum sedikit dan berharap semoga perjalananku
kali ini akan menyenangkan.
Ku pasang headset[5]
di telepon seluer-ku dan memulai lagu yang akan menemaniku selama
perjalanan ini. Suara Donny sang vokalis Adaband mendendang lembut lewat lagu
mereka di album Harmonius yang berjudul “Cinta Sempurna.” Dan lagu ini makin ku
sukai, karena sedikit menyerupai hidup yang ku jalani kali ini.
“Setiap saat kau sentuh diriku dengan penuh kasih sayang
Hadirkan kata dengan perasaan yang tulus dari hatimu
Bagai berjalan di ruang tersepi, di dunia tanpa hadirmu
Dirimulah keajaiban ciptakan surga di dunia”
Aku seperti merasa ia sedang
memperhatikanku. Ya, aku tahu dia ada. Dia tak pernah benar-benar pergi dariku.
Dia seperti memakai jubah halimun supaya kau tak pernah menyadari keradaannya.
Tapi dia salah. Ketika aku sedang berjalan, aku tahu dia ada di sampingku. Saat
aku membaca buku di perpustakaan, aku tahu dia sedang duduk di depanku dan
memandangiku dengan tatapan usilnya, mengganggu konsentrasiku. Saat aku sedang
bernyanyi kecil mengikuti sebuah lirik lagu, aku tahu dia juga ikut bernyanyi
bersamaku dengan suaranya yang sengaja di buat jelek dan sumbang. Da ketika aku
akan tidur, aku tahu dia duduk di sampingku dan membelai lembut kepalaku hingga
aku terlelpa. Ya, dia tak pernah pergi. Dia masih ada disini, dan aku tahu dia
ada.
Ku raih buku dan bolpen yangsengaja
ku siapkan sebagai salah satu barang bawaanku. Aku terdiam melihathalaman
pertama yang masih kosong, lalu tanganku bergerak menuliskan satu kata yang
pada akhirnya ku jadikan sebagai judul ceritaku kali ini. “Senja”.
***
Baru satu hari aku disini, aku sudah
menulis sebanyak tiga lembar buku bolak-balik. Entah kenapa tanganku terasa
ringan da otakku seolah tak kehilangan ide untuk menulis. Mungkin karena cerita
yang kali ini ku tulis adalah tentang aku dan Riani. Aku tak bermbisi
menerbitkan cerita ini menjadi sebuah buku, tapi aku hanya ingin
mengabadikannya dalam sebuah bukti fisik, aku malah berencana jika kisah ini selesai
ku tulis, aku akan menyimpannya dalam sebuah kotak dengan gembok kunci yang
disertai kombinasi angka dan huruf, lalu ku tanam di belakang rumah sedalam
beberapa meter. Dengan demikian tak akan ada yang membacanya, dan jika pun buku
ini ditemukan mungkin sudah teramat sangat lapuk dan tak bisa terbaca lagi
karena tintanya telah memudar.
Kembali ku rangkai kata demi kata
yang tersambung menjadi kalimat dan memenuhi lembaran buku ini. Semakin hari
cerita ini semakin mendekati akhir, dimana aku harus bercerita tentang
kepergian Riani untuk selamanya. Cerita ini memang berakhir karena
kepergiannya. Jadi walaupun itu adalah bagian terberat, aku memang harus
menceritakannya juga.
Hari ketujuh aku di pulau ini, bosan
duduk di teras, aku turun ke pantai dan berjalan bolak-balik di sepanjang
pantai yang terlalu panjang. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5
sore.
Aku masih berada di pantai, dengan
posisi dudukku di atas sebuah batang kayu besar yang memang ada di pantai itu
entah sejak kapan. Matahari telah condong di ufuk barat, sebentar lagi siap
tenggelam dalam peraduannya dan digantikan oleh malam. Siluet[6]
jingga yang berhamburan di langit sore itu cukup indah. Aku menikmatinya,
seolah ingin sebanyak mungkin menyimpan ketenangan untuk meredam kegelisahanku
bila aku sudah kembali ke kotaku nanti.
“Senja yang indah” ucap seseorang
tepat di belakangku. Ketika kau menoleh, aku tak perlu banyak waktu untuk sadar
bahwa itu dia.
“Senja ini indah, tapi aku tetap
merasa kalau senja ini akan lebih indah jika ditambah dengan senyuman di
wajahmu” tuturnya lagi.
“Mari kita pulang…” pintanya, lalu
ia mendekatiku. Aku berdiri dari tempat dudukku, dan memadanginya hingga kini
kami saling berhadapan. Ku rasakan pandaganku mengabur dan penuh. Dia
mengembangkan senyuman, dan aku pun mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk
membalas senyumannya. Tak ada suara yang keluar. Namun Laisa mengerti apa yang
tak aku keluarkan. Dia tahu lebih banyak tentang hatiku daripada aku. Dia
selalu bisa memahami bahasaku, sampai aku tak bisa menutupi apapun rahasiaku
dari dia. Tak ada suara, hanya deburan ombak yang menghempaskan dirinya di
bibir pantai. Kini, kami sama-sama menatap kedepan, memandang ke arah matahari
yang akan meninggalkan bumi.
#Menulis
Cerpen Demi Indonesia Com Centre (DICC) “Saatnya Hati Bicara”, Mei 2014.
[1] Partner:
mitra dalam usaha; bekerja sama
[2] Pre-test:
[3] Taksonomi:
cabang biologi yang menelaah penamaan, perincian, dan pengelompokan makhluk
hidup berdasarkan persamaan dan pembedaan sifatnya
[4] Fleksibel: luwes, mudah dan cepat menyesuaikan.
[5] Headset: perangkat tambahan pada telepon, fungsinya untuk audio.
[6] Siluet: gambar bentuk menyeluruh secara
blok, biasanya berwarna gelap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar