Minggu, 12 Juli 2015

Dunia Tanpa Hadirmu



source picture: https://anangpratama.wordpress.com

Manusia yang selalu mencari alasan
Ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik
Situasi, waktu
Takdir dan keberuntungan
Mereka menggunakan hal tersebut untuk menghibur diri mereka
Tidak mengira akan terjadi seperti ini
Jika aku bisa melakukannya lagi
Akankah berubah menjadi lebih baik jika aku melakukannya lagi?
Ketika aku gagal pada kesempatan pertama,
darimana asalnya kepercayaan diri ini untuk berhasil pada kesempatan kedua?

 “Selamat pagi teman-teman…” sapaku pada kelas praktikum Biologi dari angkatan 2012. Hari ini adalah hari terakhir mata acara praktikum Biologi di kelas mereka, sebelum minggu depan memasuki minggu ujian praktik. Saat memasuki ruangan ini tadi, aku sudah mencium aroma jeruk dan mangga, karena kali ini mereka akan melakukan praktikum Uji Vitamin C.
“Pagi…” sahut mereka serempak. Selanjutnya giliran Dewi, partner[1] sesama asisten untuk mata kuliah ini yang memberikan pengarahan untuk pre-test[2] terlebih dahulu sebelum mereka memulai praktikum.
“Oke, silakan tutup buku panduan praktikum dan catatannya. Kita akan mulai pre-test-nya” ujar Dewi. Ia pun mulai membacakan soal nomor 1 sampai 5. Aku berjalan ke meja mereka untuk mengumpulka laporan praktikum minggu lalu, dan membawanya ke ruang analitik tempat lemari penyimpanan laporan yang belum dikoreksi. Aku menuju loker yang bertuliskan “PRAKTIKUM BIOLOGI. Asisten 1: Mohammad Adi Sasono. Asisten 2: Dewi Hana”. Ku putar anak kunci yang tergantung di luar, lalu memasukkan laporan yang baru kukumpulkan tadi. Usai menyimpan dan menutup pintu itu kembali, aku menoleh pada sebuah lemari di sebelahku. Di depannya masih tertempel tulisan “PRAKTIKUM TAKSONOMI[3] HEWAN. Asisten 1: Riani Darmawati. Asisten 2: Mohammad Adi Sasono. Perlahan aku meraih kertas tersebut, lalu bergegas kembali ke ruang praktikum. Aku tak ingin terlalu lama membiarkan diriku mengingtanya lagi, bukan karena takut aku akan bersedih, tapi karena takut mengganggu ketenangannya dalam istirahat panjang disana.
Sudah satu bulan sejak kepergian Riani, dan aku masih tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Setiap hari, bahkan dalam mimpi juga hanya Riani yang selalu ada. Lemah Jantung, itulah penyakit yang merenggut nyawa Riani. Terakhir kali kunjunganku ke rumah Riani, ibunya menunjukkan sederet obat yang disembunyikan Riani dengan rapi di laci meja belajarnya, jauh di belakang tumpukan buku-bukunya. Aku tersenyum kecut, menyadari betapa pandainya dia menutupi rahasia ini dariku dengan alasan ia tak ingin aku terluka. “Setidaknya kalau memang Yani harus mati, Yani hanya ingin membahagiakan Adi samapai Yani mati, Bu. Yani tidak ingin melihatnya sedih selama Yani masih hidup. Jadi biarlah sakit hatinya hanya satu kali saja, karena itu akan lebih mudah disembuhkannya daripada ia harus terluka dari awal.” Begitu tutur Ibunya, yang ku rasa sedikit egois tapi rasional. Dia terlalu mencintaiku, aku tahu itu. Aku pun sudah sangat mencintainya, hingga aku merasa aku tak bisa menemukan penawar luka karena kehilangan dia.
Praktikum yang berlangsung selama dua jam ini cukup menyenangkan. Beberapa praktikan tampak sibuk melakukan titrasi sari buah. Beberapa yang lain juga sibuk menghaluskan potongan buah yang nantinya akan disaring dan diambil airnya. Sedangkan kelompok Azwar yang bertugas membawa jeruk, sengaja membawa jeruk hingga dua kilogram dan dibagikan ke seluruh kelompok untuk dimakan.
Memasuki semester 7 ini aku juga sudah memiliki kesibukan lain, yaitu praktik mengajar di sekolah-sekolah. Ini adalah mata kuliah kedua terakhir sebelum ditutup dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester depan. sedangkan untuk mata kuliah yang menuntut untuk kuliah di dalam kelas sudah tidak ada lagi. Waktuku pun lebih fleksibel[4] karena kau tidak punya tanggungan kewajiban lainnya lagi.
Sambil menunggu hingga anak-anak selesai praktikum aku mengecek jadwal praktikku yang ku simpan dalam binder. Minggu depan siswa-siswi SMP Sunan Giri memasuki minggu UTS atau mid semester, dan seluruh kegiatan belajar-mengajar ditiadakan sementara. Dan itu berarti minggu depan aku kosong, tidak ada jadwal praktik sama sekali. Sebuah suara di hatiku menyerukan sebuah usul, aku ingin liburan.
Ya, aku memang perlu istirahat. Aku tak bisa berpura-pura tegar seperti ini. Di luar aku tersenyum, menyibukkan diriku dengan ini-itu, padahal di dalam hati aku sedih dan rapuh. Sangat mudah bagiku untuk menangis, tapi semudah itu juga aku mempertahankan supaya mereka tak melihat kerapuhanku. Aku tak ingin diburu oleh sorot mata iba dari setiap orang ku jumpai. Aku ingin mereka percaya kalau aku baik-baik saja. Mereka harus tahu itu!
“Ya, aku akan liburan” sambil menutup binder kuliah itu. Sebuah nama pulau yang terkenal sebagai tempat rekreasi telah kupilih menjadi tempat liburanku, tinggal ku cari rute perjalanan ke saa dan transportasi apa saja yang dipakai untuk sampai ke pulau itu. Aku pun membuka google untuk mulai mencari informasi tentang pulau tersebut. Akhirnya, setelah menjaring beberapa artikel, aku mendapatkan rute perjalanan untuk sampai ke sana.
***
Angin dingin membelai lembut. Matahari baru sedikit mengintip malu di balik awan-awan. Sejenak ku lemparkan pandangan ke seluruh is ibis, hampir semua kursi sudah penuh. Seorang kernek bis bergelantungan di pintu sambil meneriakkan nama-nama kota yag akan dilewati spanjang rute bis ini. Aku tersenyum sedikit dan berharap semoga perjalananku kali ini akan menyenangkan.
Ku pasang headset[5] di telepon seluer-ku dan memulai lagu yang akan menemaniku selama perjalanan ini. Suara Donny sang vokalis Adaband mendendang lembut lewat lagu mereka di album Harmonius yang berjudul “Cinta Sempurna.” Dan lagu ini makin ku sukai, karena sedikit menyerupai hidup yang ku jalani kali ini.
“Setiap saat kau sentuh diriku dengan penuh kasih sayang
Hadirkan kata dengan perasaan yang tulus dari hatimu
Bagai berjalan di ruang tersepi, di dunia tanpa hadirmu
Dirimulah keajaiban ciptakan surga di dunia”

Aku seperti merasa ia sedang memperhatikanku. Ya, aku tahu dia ada. Dia tak pernah benar-benar pergi dariku. Dia seperti memakai jubah halimun supaya kau tak pernah menyadari keradaannya. Tapi dia salah. Ketika aku sedang berjalan, aku tahu dia ada di sampingku. Saat aku membaca buku di perpustakaan, aku tahu dia sedang duduk di depanku dan memandangiku dengan tatapan usilnya, mengganggu konsentrasiku. Saat aku sedang bernyanyi kecil mengikuti sebuah lirik lagu, aku tahu dia juga ikut bernyanyi bersamaku dengan suaranya yang sengaja di buat jelek dan sumbang. Da ketika aku akan tidur, aku tahu dia duduk di sampingku dan membelai lembut kepalaku hingga aku terlelpa. Ya, dia tak pernah pergi. Dia masih ada disini, dan aku tahu dia ada.
Ku raih buku dan bolpen yangsengaja ku siapkan sebagai salah satu barang bawaanku. Aku terdiam melihathalaman pertama yang masih kosong, lalu tanganku bergerak menuliskan satu kata yang pada akhirnya ku jadikan sebagai judul ceritaku kali ini. “Senja”.
***
Baru satu hari aku disini, aku sudah menulis sebanyak tiga lembar buku bolak-balik. Entah kenapa tanganku terasa ringan da otakku seolah tak kehilangan ide untuk menulis. Mungkin karena cerita yang kali ini ku tulis adalah tentang aku dan Riani. Aku tak bermbisi menerbitkan cerita ini menjadi sebuah buku, tapi aku hanya ingin mengabadikannya dalam sebuah bukti fisik, aku malah berencana jika kisah ini selesai ku tulis, aku akan menyimpannya dalam sebuah kotak dengan gembok kunci yang disertai kombinasi angka dan huruf, lalu ku tanam di belakang rumah sedalam beberapa meter. Dengan demikian tak akan ada yang membacanya, dan jika pun buku ini ditemukan mungkin sudah teramat sangat lapuk dan tak bisa terbaca lagi karena tintanya telah memudar.
Kembali ku rangkai kata demi kata yang tersambung menjadi kalimat dan memenuhi lembaran buku ini. Semakin hari cerita ini semakin mendekati akhir, dimana aku harus bercerita tentang kepergian Riani untuk selamanya. Cerita ini memang berakhir karena kepergiannya. Jadi walaupun itu adalah bagian terberat, aku memang harus menceritakannya juga.
Hari ketujuh aku di pulau ini, bosan duduk di teras, aku turun ke pantai dan berjalan bolak-balik di sepanjang pantai yang terlalu panjang. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Aku masih berada di pantai, dengan posisi dudukku di atas sebuah batang kayu besar yang memang ada di pantai itu entah sejak kapan. Matahari telah condong di ufuk barat, sebentar lagi siap tenggelam dalam peraduannya dan digantikan oleh malam. Siluet[6] jingga yang berhamburan di langit sore itu cukup indah. Aku menikmatinya, seolah ingin sebanyak mungkin menyimpan ketenangan untuk meredam kegelisahanku bila aku sudah kembali ke kotaku nanti.
“Senja yang indah” ucap seseorang tepat di belakangku. Ketika kau menoleh, aku tak perlu banyak waktu untuk sadar bahwa itu dia.
“Senja ini indah, tapi aku tetap merasa kalau senja ini akan lebih indah jika ditambah dengan senyuman di wajahmu” tuturnya lagi.
“Mari kita pulang…” pintanya, lalu ia mendekatiku. Aku berdiri dari tempat dudukku, dan memadanginya hingga kini kami saling berhadapan. Ku rasakan pandaganku mengabur dan penuh. Dia mengembangkan senyuman, dan aku pun mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk membalas senyumannya. Tak ada suara yang keluar. Namun Laisa mengerti apa yang tak aku keluarkan. Dia tahu lebih banyak tentang hatiku daripada aku. Dia selalu bisa memahami bahasaku, sampai aku tak bisa menutupi apapun rahasiaku dari dia. Tak ada suara, hanya deburan ombak yang menghempaskan dirinya di bibir pantai. Kini, kami sama-sama menatap kedepan, memandang ke arah matahari yang akan meninggalkan bumi.
#Menulis Cerpen Demi Indonesia Com Centre (DICC) “Saatnya Hati Bicara”, Mei 2014.




[1] Partner: mitra dalam usaha; bekerja sama
[2] Pre-test: 
[3] Taksonomi: cabang biologi yang menelaah penamaan, perincian, dan pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan pembedaan sifatnya
[4] Fleksibel:  luwes, mudah dan cepat menyesuaikan.
[5] Headset: perangkat tambahan pada telepon, fungsinya untuk audio.
[6] Siluet: gambar bentuk menyeluruh secara blok, biasanya berwarna gelap

Tidak ada komentar: