Selasa, 14 Juli 2015

Tsunami Hati

Aku bosan diam.
Aku ingin berteriak lantang.
Menembus segenap celah dan semua lubang.
Merasuk ke ujung gendang telinga semua orang.
Aku mencintainya.
Pada saat seperti ini izinkanlah aku mempertanyakan,
Di mana engkau letakkan aku?
Adakah aku seberharga cincin
yang melingkar manis di jarimu?
Ataukah aku senyaman sepatu tuamu
yang tak terasa lagi dipakai?
Akankah kau pertahankan aku selayaknya nyawamu sendiri?
Ataukah namaku hanya akan melintas sekilas di detik-detik terakhirmu?
Mengertikah kini?
Karena itulah aku ingin hidup nyata.

Minggu, 12 Juli 2015

Guruku Inspirasiku

source picture: http://ufuk-senja.blogspot.com

Sungguh aku takjub berdiri termangu
Melihat sosok tegar di kursi itu
Kursi  yang hampir rapuh
Namun, semangat itu tak kan pernah rapuh
Untuk selalu berbagi ilmu

Tak sanggup hati ini menahan haru
Mulai bercucuran pula air mataku
Bila mengenang masa-masa itu
Aku rindu akan semua itu

Aku ingin sekali menjadi sepertimu
Yang tak pernah merasa lelah merasa letih dan berputus asa
Untuk selalu mendidik dan mengajar
Aku yakin pasti ada “Emas dan Berlian”
di balik semua ocehan da ceramahmu selama ini

aku akan selalu ingat akan semua pepatahmu
untuk terus tersenyum akan dunia gila ini
dan kini telah bangkit sebuah kemanisan dari dalam hati
yang berakhir disini, yang lalu tak kan surut lagi.


Catatan Karang Untuk Hatinya

source picture: https://nurulfikiani.wordpress.com/

“Kenapa aku terlahir sebagai perempuan?” 
Pertanyan itu ada, hidup, mengikuti. Seperti nyawa. Seperti raga. Seperti akal.  
Ah.. hidup memang pertanyaan besar. 
Malam ini hujan deras di luar sana. Baiklah akan ku ceritakan sepenggal kehidupan Karang. Ini adalah kisah kehidupan Karang. Aku sudah lama mengenal sosok Karang, aku mulai mengenalnya sejak aku sudah mulai bisa berpikir dan memahami. Entah sejak umur berapa tepatnya, aku tidak ingat. Yang jelas, aku mengenalnya bukan hanya secara fisik tapi juga sedikit tau menggenai apa yang ia rasakan dan apa yang ada dalam otaknya. Kenapa aku mengatakan sedikit? Karena semuanya kembali padaNya, sang pencipta Yang Maha Sempurna, Yang Maha Tahu lahiriah dan bathiniah ciptaanNya.
Aku. Aku adalah aku. Seorang filsuf Yunani pernah mengatakan Aku berpikir, maka aku ada, dan itulah aku. Aku menulis atas keinginanku sendiri, menjauhi segala bentuk intervensi dari pihak manapun. Aku menulis apa yang ada dalam pikiran. Aku tidak pandai dalam menulis. Aku tau akan memulai dari mana tulisan ini. Tapi dengan apa dan bagaimana aku menyelesaikan tulisan ini? Dan dibagian mana harus ada pemisah antara yang boleh dan yang dilarang? Aku tidak tau. Aku akan menulis apa yang ada dalam pikiran. Orang yang membacanya yang akan menempatkan sendiri letak koma dan titiknya.
Dua benda yang menjadi saudara bagiku adalah buku dan pensil. Dua sifat yang akan ku coba terus untuk mempelajarinya; tanggung jawab dan kejujuran. Dua yang aku harapkan dari orang lain yaitu senyum yang ramah dan teguran ketika aku lupa.
Satu hal yang membuat aku terus-menerus ingin mengenal orang terdekatku adalah karena satu kalimat pendek; “Keindahan Sejati Tidak Terlihat Oleh Mata”.
● ● ●

Malam
Malam itu Karang terbangun dari tidurnya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa Ia terbangun. Sudah sedari kecil kebiasaan itu terjadi. Terbangun, lalu kebingungan. Ia mengambil air segelas, dan meminumnya. Merebahkan kembali diri ke kasur, menatap lama langit-langit rumah. Cahaya lampu kamar yang tadinya dinyalakan, segera Ia matikan. Sinar lampu kamarnya akan mengganggu kenyamanan anggota keluarga lainnya. Lagipula, Ia tidak ingin dimarahi karena sebab ketahuan dirinya terbangun tengah malam.
Kamar menjadi gelap menyisakan seberkas ingatan. Bersamaaan dengan musik yang Ia dengarkan, Ia teringat cintanya. Teringat  pada siapa-siapa yang pernah Ia sukai, bagaimana Ia menyukai, dan kemudian bagaimana Ia merasakan perbedaan antara suka dan perasaan “cinta”. Cinta yang membuat Ia memahami dunia, dan ketidaktahuan tentang cinta yang membuat cintanya perlahan menjauh hingga akhirnya menghilang. Merasa tidak mengerti, mengapa dulu Ia sangat gampang menyukai wajah manusia? Tersenyum, lalu menertawakan diri sendiri sambil menyalahkan darah remajanya.
Terdiam
Makhluk yang disebut laki-laki adalah godaan besar bagi perempuan. Dalam diri setiap perempuan terdapat setan sekaligus malaikat. Hanya dirinya sendiri yang bisa mengusir itu, dan menghadirkan ini. Satu hal yang Karang ketahui pada diri laki-laki, yaitu mereka adalah makhluk pelupa. Mereka makhluk yang punya kapasitas otak yang lebih besar dari perempuan, mereka yang paling sering menggunakan logika untuk menghadapi beberapa hal disekitar mereka, tapi mereka juga makhluk yang sering lupa dengan kronologi[1] dalam hidup mereka sendiri. Demikian pikir Karang yang sudah muak terhadap perasaan nya sendiri.
Siro, seorang yang sudah membuat Ia bahagia karena pengenalannya terhadap cinta, sekaligus memberi hal yang tidak Karang sukai; perih, kepahitan, karena pengetahuan tentang “cinta” yang berbeda. Mungkin dulu, Siro pernah mencintai Karang, iya dulu Siro pernah mencintai Karang. Namun, seiring berjalannya waktu, Karang adalah perempuan biasa tiada punya daya tarik, dia tidak seperti yang Siro harapkan. “Seseorang yang mudah pasrah, tidak punya daya tarik sama sekali bagi laki-laki”. Demikian kesimpulan Karang malam itu. Air mata menguras semangat, kelelahan, dan tertidur kembali dalam pelukan malam.
Pikiran semalam masih terbayang, berputar-putar memenuhi otaknya. Hari sudah beranjak siang tapi pikirannya masih saja memikirkan hal yang sama. Sebuah ketakutan yang bersembunyi dibalik kebodohan masa lalu. Yang Ia sendiri tak mampu ungkapkan pada yang lain. Bahkan pada hatinya pun Ia merasa malu. Seketika merasa takut oleh kebodohannya, Ia langsung mengalihkan isi pikirannya. Tidak dalam waktu lama, ketakutan muncul lagi dan rasa malu kembali menyerang. Karang kepayahan, lalu berdo’a kepada Tuhannya memohon maaf atas apa yang ada dalam dirinya. Memohon untuk beberapa lamanya, mengadukan diri yang beberapa waktu lalu Ia selalu kalah oleh nafsunya sendiri. Dalam keadaan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, sembari menunduk, “Audzubillah[2], kebodohan itu sangat keras. Sangat keras yang kemudian menjadi duri dalam jiwa ini. Duri yang ketika menancap di jiwa, menyakitkan. Tuhan, lindungilah Aku dari tekanan-tekanan yang ku rasakan”.
“Kepada siapa Aku akan berbagi selain kepadaMu?” Air matanya menetes. Ia tidak tau, lalu kembali membenamkan wajah diantara kedua tangannya. Kali ini lebih dalam. Beberapa saat kemudian, terbangun lalu bangkit mengambil agenda dan pena. Karang kemudian menulis.
Hatiku,
Dengarlah Aku. Dengarkan Aku bicara. Berhentilah berteriak, Aku mendengarmu. Dengarkan!. Mereka di tepian sana, melihat ku  layaknya perahu emas yang berkilau, mereka tidak tahu apa yang ada dalam perahu. Mereka tidak tahu, besi-besi yang mereka lihat berkilau dari tepian, sesungguhnya sudah berkarat. Mereka melihat dari kejauhan, dan menilai dari apa yang mereka lihat. Andai saja mereka tahu kondisi sebenarnya yang ada di tubuh perahu, apa masih bisa tersenyum mereka?. Andai saja…
Hatiku,
Aku sungguh malu terhadapmu. Aku malu untuk mengutarakannya. Namun Aku tidak mau berbohong padamu dengan menyimpannya sendiri. Dengarkan apa yang akan aku keluarkan. Melihatlah dari dekat jangan menjauh.
Waktu itu,
Enam puluh menit yang dihabiskan guna mencari keindahan dan cinta, sama berharganya dengan satu abad yang sarat dengan kebenaran yang datang dari rasa takut, yang tiada berdaya terhadap yang kuat. Kebenaran telah terbuai dalam tidurnya. Terletak di tangan yang bergentayangan dan impian-impian yang mengindahkan. Didendangkan sebagai sebuah nyanyian dari waktu ke waktu. Meluap dalam enam puluh menit. Semua kebahagiaan dan kenestapaan, semua kenikmatan dan kepedihan, melebur dalam enam puluh menit. Keanggunan dan keliaran sudah tidak bisa dibedakan.
Dan enam puluh menit selanjutnya aku tersadar, dan mengutuki diri sendiri. Dan hingga sekarang tetap mengutuki diri sendiri. Kini aku merasa tidak percaya diri lagi. Aku merasa aku akan kehilangan diriku sendiri kalau hal-hal yang menjadi sebab aku tertekan terus-menerus aku biarkan menggerogoti jiwaku.
Engkau tahu wahai Hatiku,
Kemarin, waktu yang lalu. Waktu aku mengambil sebuah keputusan yang bahkan aku sendiri tidak harus tahu harus bahagia ataukah menyesal. Yang aku tahu, aku hanya mencoba untuk tidak kehilangan diriku sendiri. Aku memberanikan diri menulis dalam sebuah pesan yang ku tujukan untuk Siro, yang isinya adalah keluh kesah dan harapan. Entah pesan tersebut menyentuhnya atau tidak, aku tidak tahu. Ia hanya diam. Aku juga tidak tahu, apakah keputusan yang ku ambil adalah bagian dari sebuah proses dalam hubunganku, yang dulunya sempat ku yakini adalah cinta sejati. Ataukah keputusanku dan sikap “diam”-nya adalah akhir? Aku lagi-lagi tidak tahu.

Engkau Hatiku,
Sudah tahu siapa Aku, tapi bagaimana dengan Aku?, Aku masih mencari. Setiap hari antara malam dan fajar Aku terbangun, hanya Tuhan yang tahu kenapa aku terbangun dan sesungguhnya hanya Dialah yang selama ini bersama dan selalu menjagaku. Pahamilah aku bukan sebuah perahu emas sesungguhnya, Aku hanya perahu yang berkilau karena terpaan cahaya dan itupun karena mereka melihatnya dari jarak yang jauh.
● ● ●

Selesai Karang menulis, dia tertidur. Suatu kebiasaan sejak dulu, lewat waktu dluhur dia sangat mudah untuk memejamkan matanya. Berbeda dengan malam, sangat sulit, terkecuali dia benar-benar merasa sangat lelah.
Perasaan beberapa hari yang lalu, memang sudah membuat Karang merasa kalau dirinya sudah tidak manis lagi. Dia seperti kehilangan arah, pandangan di depan matanya sudah tak ada yang menarik lagi. Semua sama. Apalagi pendapat ia mengenai makhluk yang disebut laki-laki. Sudah muak sendiri.
Sebenarnya siapa yang harus dia benci, dirinya sendiri ataukah makhluk yang disebut laki-laki? Apapula yang tidak Ia sukai dari hal yang Ia benci? Perempuan ini (Karang), ada saat Ia bersimpati pada laki-laki dengan menuliskan pendapat-pendapatnya, seolah-olah dia mengerti, memahami perasaan mereka. Mengatakan mereka adalah makhluk pertama yang tidak mungkin melakukan kesalahan tanpa makhluk kedua. Jadi menurut singkatnya, makhluk kedua lah merupakan awal dari sebuah kesalahan.
Namun, dibeberapa kesempatan lainnya, Ia takut kepada mereka (laki-laki). Mereka godaan terbesar bagi perempuan. Mereka bisa membawa perempuan ke tepian jurang untuk kemudian dijatuhkan.
Di kesempatan berbeda lainnya, Ia marah, Ia muak. Ketika mendapati sebuah argumen hina yang mengatakan, “Perempuan, makhluk kurang akal karena Ia haid. Karena kekurangan akal mereka, membuat Adam diturunkan dari surga”. Karang mendapat hantaman keras dari argumen hina tersebut dan dengan pendapat ia sendiri yang mengatakan, “semuanya berawal dari perempuan”. Ia tidak tahu lagi, siapa yang akan Ia benci, mereka ataukah dirinya sendiri? Kembali marah, Ia memilih diam. Diam saja, sambil tersenyum sinis mengatakan pada dirinya sendiri, “Lalu kenapa Adam mau mendengarkan perempuan? Kenapa bukan Adam yang disalahkan oleh mereka?”
Sangat mudah baginya untuk menangis saat ini, tapi semudah itu juga dia mempertahankan supaya mereka tak melihat kerapuhannya. Karang memang tak pernah ingin diburu oleh sorot mata iba dari setiap orang yang jumpainya. Karang selalu ingin mereka percaya kalau dirinya baik-baik saja. Mereka harus tahu itu!
Sore itu, diteras rumahnya setelah semalaman seharian otaknya dibuat lelah. Ia putuskan untuk menjalani kisah-kisah baru yang lebih seru, yang tidak hanya sekedar diisi oleh cinta roman yang samar dan semu. “Ada banyak hal, persoalan-persoalan dalam hidup ini yang berhak mendapat perhatian dari diriku. Aku berhak menolak siapa saja yang ingin Aku tolak dalam hidup ini”. Suara  lirihnya terdengar, sambil tersenyum memandang langit, Ia terlihat manis sore itu. Rupanya, berlama-lama memandang langit memberikan efek positif bagi pemikirannya. Dunia tidak sekejam seperti yang Ia pikirkan sebelumnya. Dirinya merasa takjub dan damai dengan memikirkan betapa Maha Besarnya penciptaan Tuhan, betapa Maha Sempurnanya penciptanNya, dan betapa kecilnya Ia di alam semesta ini.
● ● ●

[1] Kronologi: menurut urutan waktu (dalam penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa).
[2] Audzubillah: Aku berlindung kepada Allah.

Bermimpi Bisa Menggerakkan Hati Generasi



Kau apa adanya
Sederhana
Namun begitu luar biasa
Mengharap sedikit, memberi banyak
Bagai mentari
Tak pernah telat
Bagai mentari
Menebar cahaya
Bagai mentari
Hidup dalam kehidupan
Engkau juga rembulan itu
Menyenangkan bagi yang menatap
Mendamaikan dengan sinarmu
Aku pernah bertanya dalam sesaknya malam
Apakah ikhlas itu?
Apakah seperti mentari?
Apakah seperti rembulan?
Terus memikirkan Terus mencari jawaban
Ku lihat engkau seperti itu
Seperti jawaban yang ku cari
Sepertinya kau tidak punya lelah
Atau, aku yang buta selama ini
Sepertinya juga engkau punya hati yang baik
Karena ku selalu melihat senyum ramahmu di setiap yang kau berikan
Aku bermimpi
Aku bisa sepertimu, menginspirasi generasi bangsa

#Menulis Puisi Rumah Ilmu “Guru Inspirasi”, Maret 2014.